LUWU RAYA — Ketua Badan Pengurus Wilayah (BPW) Kerukunan Keluarga Luwu Raya (KKLR) Provinsi Sulawesi Selatan, Ir Hasbi Syamsu Ali, MM, menegaskan pentingnya menjaga persatuan masyarakat Luwu Raya dengan merawat nilai-nilai budaya dan simbol kedatuan Luwu sebagai perekat utama.
Hal tersebut ia sampaikan usai menghadiri dua momentum perayaan hari jadi, yakni Kabupaten Luwu Timur pada 19 Mei 2025 dan Kabupaten Luwu Utara pada 20 Mei 2025.
“Alhamdulillah, dua hari ini kita menyaksikan perayaan hari jadi di Luwu Timur dan Luwu Utara yang masing-masing punya warna dan semangat luar biasa. Keduanya menunjukkan progres pembangunan dan antusiasme masyarakat dalam bingkai persatuan,” kata Hasbi di Masamba, Selasa (20/5) petang.
Di Luwu Timur, lanjutnya, pemerintah daerah menampilkan berbagai capaian pembangunan serta inovasi layanan masyarakat, termasuk peluncuran sejumlah program seperti Kartu Pintar dan Kartu Lansia oleh Bupati Irwan Bachri Syam.
Sementara di Luwu Utara, Bupati Andi Abdullah Rahim bersama jajarannya menggulirkan program ‘Solusi Lutra’ yang fokus pada penguatan sektor pertanian dan ketahanan pangan.
“Dari pembagian alat semprot, mesin panen padi, hingga rencana perluasan lahan sawah, semua itu menunjukkan progres nyata. Tapi yang paling membanggakan adalah kuatnya partisipasi masyarakat dan sinergi para kepala daerah se-Luwu Raya yang hadir dan saling memberi dukungan,” ujar Hasbi.
Persatuan Luwu Raya: Bukan Semata Bahasa atau Agama
Dalam pernyataannya, Hasbi Syamsu Ali menyoroti filosofi persatuan masyarakat Luwu yang berbeda dibanding daerah lain di Sulawesi Selatan.
Jika di beberapa daerah identitas kolektif dibangun melalui bahasa atau agama, di Luwu Raya, persatuan ditopang oleh nilai sejarah dan simbol Kedatuan Luwu.
“Di tempat lain, bahasa dan agama jadi pemersatu. Tapi di Luwu, kedatuanlah yang menjadi simbol persatuan. Luwu bukan sekadar suku, tapi bangsa. Di dalamnya ada banyak anak suku, bahasa, dan adat yang disatukan oleh simbol budaya tersebut,” jelasnya.
Ia menegaskan, bahkan di luar aspek keagamaan sekalipun, masyarakat Luwu memiliki ikatan emosional kuat terhadap identitas leluhur mereka.
“Jadi walaupun orang itu tak beragama sekalipun, kalau ada yang bilang dia bukan orang Luwu, dia bisa marah. Artinya, persatuan di Luwu itu berbasis sejarah, bukan hanya identitas formal,” katanya.
Merawat Simbol Budaya, Menjaga Warisan Sejarah
Hasbi Syamsu Ali juga mengapresiasi kehadiran simbol budaya Kedatuan Luwu dalam dua even hari jadi tersebut.
Menurutnya, kehadiran lembaga adat dan wakil Kedatuan merupakan pengingat pentingnya merawat warisan sejarah yang telah menjadi bagian dari perjalanan bangsa Indonesia.
“Sejak awal kemerdekaan, Luwu telah berada di belakang NKRI, dan nilai-nilai persatuan berbasis kedatuan itu yang harus terus dirawat. Alhamdulillah dua hari ini simbol-simbol budaya itu hadir. Ini patut kita syukuri,” pungkas Hasbi.
Sebagai informasi, Kedatuan Luwu merupakan salah satu kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, yang diyakini berdiri sejak abad ke-13. Dalam catatan sejarawan Anthony Reid (1993) dalam Southeast Asia in the Age of Commerce, Luwu menjadi salah satu pusat perdagangan penting dan kekuatan politik utama di jazirah Sulawesi sebelum kolonialisme Belanda.
Hingga kini, Kedatuan Luwu masih eksis sebagai simbol adat dan budaya masyarakat Luwu Raya yang meliputi empat daerah otonom, yakni Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo.
Kekompakan masyarakat Luwu Raya di berbagai momentum peringatan hari jadi daerah ini menjadi cermin bahwa semangat persatuan berbasis sejarah dan budaya masih terawat kuat di tengah dinamika pembangunan modern. (*)