Mengenang Opu Daeng Manambon, Bangsawan Luwu yang Membawa Islam ke Mempawah

Makam Opu Daeng Manambon.jpg-min

DI BALIK sejarah panjang Kalimantan Barat, terdapat nama besar seorang tokoh Bugis asal Sulawesi Selatan yang memiliki jasa besar dalam menyebarkan Islam dan membangun tatanan pemerintahan di wilayah pesisir barat Kalimantan.

Dialah Opu Daeng Manambon, sosok bangsawan perantau dari Kerajaan Luwu yang kelak menjadi pendiri dan raja pertama Kerajaan Mempawah.

Opu Daeng Manambon lahir sekitar tahun 1695 di Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan. Ia adalah keturunan bangsawan Bugis, putra dari Opu Tandre Borong Daeng Rilekke, seorang tokoh terkemuka di Kerajaan Luwu.

Bersama saudara-saudaranya — yang dikenal sebagai Lima Opu Bugis — Opu Daeng Manambon dikenal sebagai pribadi pemberani, tangguh, dan piawai dalam ilmu pemerintahan dan peperangan.

Potret Opu Daeng Manambon
Potret Opu Daeng Manambon (IST)

Pada awal abad ke-18, ia bersama saudara-saudaranya melakukan perantauan ke berbagai wilayah di Nusantara, termasuk Semenanjung Malaka dan Kalimantan.

Mereka dikenal sebagai pejuang, panglima, sekaligus penengah dalam berbagai konflik kerajaan Melayu saat itu.

Menjadi Raja di Mempawah

Sekitar tahun 1724, Opu Daeng Manambon diundang ke Kerajaan Mempawah, Kalimantan Barat, untuk membantu meredakan konflik internal yang terjadi pasca wafatnya Panembahan Senggaok.

Atas kebijaksanaan dan kepemimpinannya, ia dipercaya oleh keluarga kerajaan dan rakyat Mempawah untuk menjadi raja.

Opu Daeng Manambon kemudian menikah dengan Putri Kesumba, putri Raja Mempawah sebelumnya. Dari pernikahan ini, kedudukannya sebagai pemimpin semakin kuat dan sah secara adat.

Ia pun memegang gelar Pangeran Mas Surya Negara, sekaligus menjadi raja pertama dalam dinasti baru Mempawah yang dipengaruhi oleh budaya Bugis dan Islam.

Selain sebagai raja, Opu Daeng Manambon juga dikenal sebagai tokoh yang berjasa dalam memperkenalkan dan menyebarkan agama Islam di wilayah Mempawah.

Saat itu, Islam memang telah dikenal di wilayah Kalimantan Barat, namun belum menyebar secara merata dan belum menjadi agama mayoritas.

Beberapa langkah penting yang diambil Opu Daeng Manambon dalam menyebarkan Islam di Mempawah antara lain:

  • Mengundang ulama besar ke Mempawah, di antaranya Sayyid Habib Husein bin Ahmad Al Qadri, seorang ulama keturunan Arab yang kemudian menetap di Mempawah untuk berdakwah dan membina masyarakat.
  • Membangun masjid dan pusat pengajian di sekitar istana dan wilayah permukiman rakyat, sebagai pusat aktivitas keagamaan dan pendidikan Islam.
  • Mengadopsi pendekatan sosial-budaya, dengan merangkul adat lokal dan memadukannya dengan nilai-nilai Islami tanpa memaksa masyarakat meninggalkan tradisi mereka secara drastis.
  • Menjalin hubungan keluarga dengan tokoh-tokoh dakwah, salah satunya melalui pernikahan putrinya, Putri Candra Midi, dengan Syarif Abdurrahman Al Qadri, ulama sekaligus pendiri Kesultanan Pontianak.

Melalui upaya tersebut, dalam waktu singkat Islam berkembang pesat di Mempawah dan menjadi agama mayoritas masyarakat.

Wafat dan Warisan Sejarah

Opu Daeng Manambon wafat pada tahun 1763 dan dimakamkan di Sebukit Rama, sebuah perbukitan yang kini menjadi salah satu situs cagar budaya dan tempat ziarah di Kabupaten Mempawah.

Makamnya hingga kini masih ramai diziarahi, baik oleh keturunannya maupun masyarakat umum, sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya.

Warisan kepemimpinan Opu Daeng Manambon tidak hanya tercatat dalam sejarah Mempawah, tetapi juga dalam jejak hubungan erat antara Kerajaan Mempawah dan Kesultanan Pontianak, serta kontribusinya dalam perkembangan dakwah Islam di Kalimantan Barat.

Hingga kini, Opu Daeng Manambon dikenang sebagai tokoh Bugis perantau yang berhasil menyatukan kekuatan politik dan dakwah Islam di Kalimantan Barat.

Kisah hidupnya menjadi inspirasi tentang pentingnya kepemimpinan yang arif, berani, dan mampu merangkul perbedaan budaya dalam membangun peradaban. (*)