Wija to Luwu

Wija to Luwu adalah sebutan untuk orang Luwu atau keturunan Luwu. Sebutan Wija to Luwu ini digunakan meskipun wilayah Luwu Raya terdiri dari berbagai suku dengan bahasa dan budaya yang berbeda-beda.

Meski telah terbagi dalam empat wilayah, orang Luwu atau keturunan Luwu tetap menyebut diri mereka dengan sebutan “Wija to Luwu” yang kadang disingkat sebagai WTL.

Di kesempatan lain, ada pula yang karena aksesn menyebutnya sebagai Bija to Luwu dengan maksud dan pengertian yang sama.

Selain itu, meski di wilayah Luwu Raya terdapat banyak suku kecil dengan bahasa dan budaya yang berbeda-berbeda, tetapi tetap saja mereka disebut dengan “Wija to Luwu”.


Wija To Luwu: Menjaga Warisan, Menyulam Masa Depan

Setiap tahun, masyarakat Tana Luwu memperingati dua momentum penting yang menjadi tonggak sejarah dan jati diri kolektif: Hari Jadi Luwu (HJL) dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu (HPRL) di bulan Januari.

Kedua momen ini bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan ruang untuk merenung, meneguhkan kembali identitas, dan memperkuat komitmen sebagai Wija To Luwu.

Wija Luwu tidak boleh melupakan atau mengabaikan sejarah yang telah membentuk mereka. Perayaan Hari Jadi Luwu (HJL) membuktikan bahwa Luwu adalah suatu wilayah Kedatuan yang telah melampaui usia kurang lebih 1.000 tahun, dan sampai saat ini masih terus eksis.

Di tengah perubahan zaman, Kedatuan Luwu tetap berdiri. Saat kerajaan-kerajaan besar Nusantara seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram hanya menjadi bagian dari lembaran sejarah, Kedatuan Luwu masih hidup dalam tradisi, nilai, dan masyarakatnya.

Peringatan Hari Perlawanan Rakyat Luwu (HPRL) bukan hanya mengenang peristiwa masa lalu, melainkan menghormati sikap mulia rakyat dan pemimpin Luwu dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Ini adalah bukti bahwa Luwu tidak pernah kehilangan ruh perjuangannya.

Simbol Tugu Toddopuli Temma Lara menjadi pengingat abadi tentang tanggung jawab dan keberanian yang melekat pada diri setiap Wija to Luwu. Sehingga bila amanah dipercayakan kepada seorang Wija to Luwu, maka meski harta dan nyawa taruhannya, tetap harus kita laksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab.

Sebagai Wija To Luwu, menjunjung tinggi falsafah Alebbireng na Tana Luwu — kemuliaan tanah Luwu — adalah kewajiban moral. Nilai ini menjadi dasar bagi segala bentuk pengabdian, baik dalam kepemimpinan, pelayanan masyarakat, maupun kehidupan sehari-hari.

Dalam dunia yang terus berubah, entitas Wija To Luwu adalah jangkar yang menjaga arah. Ia mengajarkan untuk tidak hanya bangga pada masa lalu, tapi juga bertanggung jawab atas masa depan. (*)